Kita mungkin sering mendengar bahwa riba itu haram. Namun terkadang kita belum paham betul mengapa riba dikatakan haram. Banyak masyarakat muslim di Indonesia yang masih menerapkan praktik riba dalam kehidupan sehari-hari. Karena dianggap menguntungkan. Padahal sangat merugikan.
Berdasarkan pendapat dari Muhammad Syafii Antonio dalam bukunya �Bank Syariah dari Teori ke Praktik�, 2001, riba secara bahasa bermakna ziyadah yang artinya tambahan. Dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan pokok atau modal secara batil. Menurut Badr ad-Din al-ayni, PengarangUmdatul Qari Syarah shahih al-Bukhori : �Prinsip utama dalam riba dalah penambahan. Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.� Jadi dapat ditarik benang merah bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli atau pinjam meminjam dengan cara yang batil atau tidak sesuai dengan prinsip syariah.
Secara garis besar, riba terbagi menjadi dua kelompok. Masing�masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadl dan riba nasi�ah. Riba Qardh, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh). Riba jahiliyyah , yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba Fadhl , yaitu pertukaran barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda. Sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk jenis barang ribawi. Riba Nasi�ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi�ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Berbagai macam jenis riba telah masuk ke dalam sendi-sendi perkonomian masyarakat Indonesia, khususnya riba utang-piutang yang begitu familiar di kalangan masyarakat. Khususnya pada masyarakat menengah ke bawah, masih banyak yang mengandalkan jasa �bank keliling� untuk modal usahanya tanpa memikirkan bunga yang ditetapkan dalam jangka panjang . Sering kali mengambil cepat keputusan untuk mengambil kredit bank. Apalagi dengan tawaran bunga yang ringan. Maka semakin tertarik untuk mengambil kredit yang ditawarkan. Ketika memutuskan untuk mengambil kredit dari bank tersebut, disitulah awal malapetaka praktik riba yang merugikan. Mengapa merugikan? karena ketika melakukan pinjaman, secara tidak langsung pihak bank telah memaksa kita untuk mengembalikan uang yang dipinjam plus bunga. Namun yang menjadi permasalahan adalah pihak bank tidak peduli bagaimana keberlangsungan usaha kita. Tidak peduli untung atau rugi yang penting uang harus kembali dengan tambahan tanpa ada usaha yang dilakukan oleh bank. Bank hanya tinggal duduk manis tanpa usaha dan uang akan kembali berlipat ganda, sungguh tidak adil. Ketika tidak bisa membayar, maka aset yang menjadi jaminan akan diambil oleh pihak bank dan akhirnya pihak yang berutang tidak hanya bangkrut karena usahanya gagal, namun juga jatuh miskin.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh MARS, perusahaan riset pasar terkemuka, 81,2% pembeli mobil dan 95,7% pembeli sepeda motor di Indonesia membeli kendaraan mereka secara kredit. Sedangkan sisanya melakukan pembelian secara tunai. Apalagi ditambah dengan kebijakan Kementrian Keuangan yang menurunkan uang muka minimum 25% untuk mobil penumpang dan 20% untuk pembelian sepeda motor. Bahkan beberapa perusahaan leasing menawarkan uang muka yang sangat terjangkau. Bahkan mulai dari Rp 500.000,- sudah bisa mendapatkan motor secara kredit. Dengan berbagai penawaran menarik tersebut maka semakin banyak orang berbondong-bondong untuk memiliki kendaraan secara kredit. Berdasarkan data dari carmudi situs online transaksi jual beli kendaraan menyatakan bahwa pembiayaan kredit konsumen di Indonesia tumbuh 16% mencapai 195,5 trilliun Rupiah. Bisnis leasing juga tumbuh 15% mencapai 105 trilliun Rupiah. Mayoritas konsumen Indonesia masih mengikuti sistem perbankan konvensional dibandingkan dengan perbankan syariah. Dengan hampir 90% dari total populasi di Indonesia beragama Islam, pangsa pasar perbankan syariah masih dibawah 5%. Angka ini masih sangat rendah dibandingkan negara tetangga yaitu Malaysia, dimana 61% dari total populasinya memeluk agama islam, pangsa pasarnya sudah mencapai 20%. Namun disamping pangsa pasar yang masih rendah, daya tarik perbankan syariah terus tumbuh. Perbankan syariah tumbuh 43% di tahun 2014 dibanding pertumbuhan perbankan konvensional yang hanya tumbuh 13%. Data-data diatas menunjukkan bahwa penggunaan sistem pembiayaan secara konvensional masih cukup tinggi di Indonesia yang mayoritasnya adalah muslim. Berbeda dengan Malaysia yang pangsa pasar perbankan syariahnya lebih tinggi dibanding Indonesia, karena penerapan praktik perbankan syariahnya berlangsung secara up to bottom. Artinya pemerintah sangat berperan aktif dalam mendukung industri perbankan syariah di Malaysia. Berbeda dengan Indonesia yang praktik perbankan syariahnya berlangsung secara bottom to up. Sehingga perlu peran yang besar dari masyarakat dalam membangun perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia. Namun dengan pertumbuhan perbankan syariah yang semakin pesat menandakan bahwa masyarakat sudah mulai menyadari praktik perbankan syariah adalah solusi yang tepat dalam melakukan praktik keuangan. Mulai dari pembiayaan, saving atau investasi. Dalam perbankan syariah lebih menekankan relasi berdasarkan kemitraan, bukan hanya sekedar hubungan antara kreditur dan debitur, menggunakan akad-akad yang jelas dan adil, tidak saling merugikan satu sama lain. Menggunakan sistemmargin yaitu penentuan rasio/nisbah bagi hasil dibuat berdasarkan pada waktu akad yang berpedoman pada kemungkinan keuntungan dan kerugian, bukan instrumen bunga yang diasumsikan harus selalu untung.
Oleh karena itu, untuk mendongkrak industri keuangan yang bebas riba, maka pemerintah dan masyarakat harus saling bersinergi dalam menyokong perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia agar semakin berkembang pesat. Menjadi solusi nyata untuk masyarakat agar terhindar dari praktik riba yang menyengsarakan. Bersama-sama membangun perekonomian yang adil dan sejahtera menuju Indonesia madani. Ekonomi Robbani, BISA ! (dakwatuna.com/hdn)
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Post a Comment