Populasi buaya di seluruh sungai-sungai dan muara Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, diperkirakan berjumlah antara 2.000 hingga 3.000 ekor.
Persentase terbanyak adalah anaknya, mencapai 70 persen dengan rentang usia antara 1-24 bulan.
Informasi itu diungkapkan Jumadil Awal alias Koyong (42), warga Siti Ambia, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil yang ditanyaiSerambinews.com di desanya, Selasa (5/4/2016) siang.
Di Singkil, Jumadil dikenal luas sebagai pawang buaya. Sebagai pawang, dia mendapati hampir tiap bulan ada puluhan anak buaya yang menetas, lalu masuk sungai dan terkadang berjemur secara berkelompok di pinggir sungai.
"Sekali bertelur induk buaya dewasa biasanya menghasilkan 80 butir telur," kata Jumadil.
Dulu, saat di Singkil banyak biawak, sangat sedikit telur buaya yang sampai menetas, karena dimakan biawak. Tapi sejak tiga tahun lalu biawak di Singkil hampir punah karena diburu dan dijual warga ke Nias, Sumatera Utara, dalam keadaan hidup seharga Rp 45.000/kg.
"Di Nias biawak biasanya disate atau digoreng," katanya.
Nah, sejak biawak menjadi hewan langka di Singkil, maka tak ada lagi hewan predator telur buaya. Jadi, kalau seekor induk bertelur antara 60-80 butir, maka seluruh telurnya akan menetas jadi anak. Inilah yang memicu populasi buaya berkembang pesat hingga di atas 2.000 ekor.
Kalau sungai sedang dingin airnya karena curah hujan tinggi, Jumadil sering melihat belasan buaya naik ke permukaan sungai.
"Di titik tertentu saya biasa melihat 5 sampai 8 buaya mengambang serentak di permukaan sungai. Di titik lain terkadang sampai sepuluh ekor. Kalau bersama anaknya ya bisa puluhan ekor jumlahnya," kata Jumadil.
Sungai Singkil yang dinamakan Sungai Alas atau Lae Soraya merupakan sungai terpanjang di Aceh. Hulunya berada di Kabupaten Aceh Tenggara, sedangkan muaranya di kawasan Pulo Sarok, Singkil.
"Nah, sejak dari mulut muara hingga ke atas Lae (Sungai) Rimo itu ada buayanya. Warga sering menelepon saya mengabarkan bahwa di kampungnya muncul buaya sungai," kata Jumadil. Ia sengaja menyebut buaya sungai, karena di Singkil juga ada buaya muara dan buaya laut.
"Yang terlihat di Pulau Banyak itu sudah pasti buaya laut," kata Jumadil.
Ia mengelompokkan buaya berdasarkan bentuk dan warna kulitnya. Ada yang bongsor mirip kodok kulitnya hitam, ada pula yang warna kulitnya dominan kuning campur putih. "Nah, yang kuning ini yang biasanya sering menerkam manusia," tambahnya.
Otodidak
Jumadi mengaku belajar otodidak untuk menjadi pawang reptil liar dan ganas itu karena tuntutan keadaan.
"Soalnya, polulasi buaya di sini banyak, bahkan beberapa di antaranya sudah memangsa manusia, tapi tak seorang pun yang bersedia menjadi pawang buaya," kata Jumadil.
Berbekal nyali yang kuat, jago berenang, pintar menyelam, dan masyarakat memang memerlukan hadirnya seorang pawang buaya, Jumadil pun akhirnya menjadi pawang reptil yang giginya sangat tajam itu.
Langkah pertamanya adalah mengamati perilaku buaya, menyelidiki habitatnya, dan kemudian memasang perangkap untuk menangkap buaya-buaya dewasa.
Tapi terkadang anak buaya pun ditangkapnya, apalagi kalau sampai masuk perangkap yang biasanya ia pasang di dekat muara atau di sungai dekat semak belukar.
"Sudah 13 buaya dewasa dan 35 anaknya yang saya tangkap," kata Jumadil.
Pada Maret 2015, Jumadil mencatat rekor. Dia berhasil memerangkap buaya buntung yang panjangnya 4,8 meter. Tinggi badannya 85 cm. Andai tak buntung, ia perkirakan panjang buaya itu sampai 6 meter. "Sebanyak 22 orang dewasa mengangkat dan menarik, barulah buaya itu berhasil dikeluarkan dari sungai," kenang Jumadil.
Dia memang tak langsung melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap buaya, seperti halnya KPK menangkap tersangka koruptor. Jumadil justru mengandalkan perangkap yang di dalamnya diberi umpan. Biasanya ayam, biawak, atau kambing mati.
"Hanya beberapa anak buaya yang sedang berjemur yang pernah saya tangkap tangan atau saya tangguk," kata pria yang hobi menonton tayangan Wildlife di saluran National Geographic ini.
"Tayangan di televisi juga ikut memperkaya pengalaman saya," kata ayah lima anak ini. Anak tertuanya lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Syiah Kuala Banda.
Dua kali judul skripsi anaknya ditolak dosen pembimbing. Tapi ketika Jumadil mengusulkan agar si anak menulis skripsi tentang populasi buaya di Singkil dan mengapa jumlahnya booming dalam tiga tahun terakhir, sang dosen langsung menerima skripsi anak Jumadil Akhir.
"Akhirnya anak saya kini sarjana, tapi dia tidak saya arahkan menjadi pawang buaya. Biarlah dia bekerja sesuai latar belakang pendidikannya," kata Jumadil.
Post a Comment