Salat merupakan ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap umat Islam. Bahkan kelak di akhirat, salat menjadi amalan pertama yang akan di hisab. Akan tetapi saat ini banyak sekali orang yang meninggalkan salat dengan berbagai alasan. Bukan hanya sekali, namun bisa berkali-kali.
Dalam Islam setiap salat yang terlewat waktunya baik disengaja maupun tidak, maka tidak akan menggugurkan kewajibannya untuk dilaksanakan. Sehingga diwajibkan untuk mengganti salat yang telah ditinggalkan tersebut.
Lantas, bagaimanakah caranya ? Dalam hal ini para ulama bersepakat bahwa pelaksanaannya dilakukan setelah shalat fardhu dan tata caranya sama seperti salat biasa. Berikut penjelasan selengkapnya.
Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang telupa melaksanakan salat, maka lakukan salat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan kecuali melaksanakan salat tersebut dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku." (HR. Bukhari)
Kemudian Al-Marghinani, salah seorang ulama mazhab Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi menyatakan bahwa, "Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib mengqadha'nya begitu dia ingat. Dan harus didahulukan pengerjaanya dari shalat fardhu pada waktunya."
Hal inilah yang mendasari kewajiban seseorang yang meninggalkan salat untuk bersegera meng-qadha salat yang telah ditinggalkannya. Terlepas dikarenakan adanya udzur syar'i maupun karena sengaja.
Bahkan ketika Rasulullah SAW meninggalkan 4 waktu salat yaitu dzuhur, ashar, maghrib dan isya saat berkecamuk perang Khandaq di tahun kelima hijriyah, beliau meng-qadha salat yang telah ditinggalkannya saat perang telah usai. Sebagaimana diriwayatkan dari Nafi' dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata Abdullah,�Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Isya.� (HR. At-Tirmizy dan AnNasa�i)
Kemudian Rasulullah SAW pun pernah meng-qadha shalat subuh dikarenakan beliau tertidur sepulangnya dari perang Khaibar. Sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata,�Kami pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, �Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?� Beliau menjawab: �Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.� Bilal berkata, �Aku akan membangunkan kalian.� Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya dan akhirnya Bilal pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: �Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!� Bilal menjawab: �Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.� Beliau lalu bersabda: �Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!� kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.� (HR. Al-Bukhari)
Sehingga jelaslah bahwa setiap salat yang ditinggalkan, maka wajib hukumnya untuk mengganti salat tersebut sesegera mungkin. Namun terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama terkait dengan shalat yang ditinggalkan secara sengaja. Dimana ada yang mengharuskan qadha dan ada pula yang tidak mengharuskan qadha.
Sebab meninggalkan salat karena sengaja merupakan perbuatan fasik dan dosa besar. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa orang tersebut telah kufur dan harus bersegera melakukan taubatan nasuha.
Kalangan yang mengharuskan qadha adalah, Ibnu Najim salah seorang ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq bahwa, "Setiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit."
Lalu An-Nawawi dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, juga menyatakan bahwa, "Orang yang wajib atasnya shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab."
Dimana kalangan yang tidak mewajibkan qadha adalah Ibn Taymiyyah, kalangan ahli zhahir dan sebagian kalangan syafiiyyah berpendapat bahwa mqng-qadha salat hanya berlaku bagi yang tidak mengerjakannua karena lupa atau tertidur. Sementara seseorang yang meninggalkannya karena sengaja, telah jelas berdoa dan tidak ada baginya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya, Al-Muhalla bin Atsar bahwa, "Orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya, maka tidak dihitung qadha'nya selamanya. Maka dia memperbanyak amal kebaikan dan shalat sunnah untuk meringankan timbangan amal buruknya di hari kiamat, lalu dia bertaubat dan meminta ampun kepada Allah SWT."
Akan tetapi, sebagian besar ulama tetap mewajibkan qadha karena hadits untuk meng-qadha shalat diatas berlaku secara umum dan mutlak. Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Najim dalam Al-Bahru Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq bahwa, " Bahwa tiap shalat yang terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang ditinggalkan itu banyak atau sedikit."
Lalu disebutkan pula bahwa, �Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja itu tidak disyariatkan untuk meng-qadla` shalat yang telah ia tinggalkan dan tidak sah pula qadla`-nya, tetapi sebaiknya ia memperbanyak shalat sunnah begitu juga memperbanyak puasa. Demikian ini adalah pandangan sekelompok dari para ulama salaf seperti Abi Abdirrahman seorang pengikut setia Imam Syafii dan Imam Dawud azh-Zhahiri beserta para pengikutnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil yang bertentangan dengan pandangan ini�. (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa al-Kubra, Beirut-Dar al-Kutub al-�Ilmiyyah, cet ke-1, 1408 H/1987 M, juz, 5, h. 320)
Akan tetapi tidak ada satu ulama pun yang menyatakan bahwa apabila salat yang terlewat itu terlalu banyak jumlahnya, maka kewajiban meng-qadhanya tidak akan menjadi gugur. Oleh sebab itulah umumnya para ulama sepakat bahwa apakah banyak atau sedikit salat yang ditinggalkan, tetap saja wajib untuk dikerjakan dan diganti.
Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Qudamah, dari mahzab Al-Hanabillah bahwa, "Bila shalat yang ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya, selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya."
Lalu cara menggantinya adalah dengan melaksanakan salat yang ditinggalkan pada setiap salat fardhu. Sehingga setelah melakukan salat fardhu, maka ia diperintahkan untuk kembali bangkit melakukan shalat fardhu yang ditinggalkannya baik di waktu siang atau malam hari sesuai dengan jumlah atau sesuai dengan perkiraannya dan ditambah dengan memperbanyak salat-salat sunnah.
Post a Comment