Di bawah kepemimpinan Raja Salman, Arab Saudi terus memperluas konfrontasi dengan Republik Syi'ah Iran, termasuk di luar Timur Tengah.
Saudi tidak lagi bergantung pada kebijakan Barat atau Amerika Serikat (AS) untuk memadamkan ambisi politik Teheran di seluruh dunia.
Sejak Raja Salman berkuasa awal tahun 2015 lalu, serta tercapainya kesepakatan nuklir Iran dengan kekuatan dunia, membuat Riyadh menerapkan strategi untuk membendung hegemoni Syi'ah dalam membangun pengaruhnya di Afrika, Asia dan bahkan Amerika Latin.
Pencabutan sanksi nuklir membuat Saudi khawatir bertambahnya nafas Iran dalam memperluas pengaruhnya melalui berbagai bidang dan penguatan ekonomi.
Saudi menggunakan berbagai kekuatan politik Islam (Sunni) lainnya untuk memutus hubungan dengan Iran, termasuk dengan menciptakan Koalisi militer dunia Islam kontra-terorisme, tanpa melibatkan Iran dan negara-negara yang dikuasai Syi'ah lainnya.
"Iran adalah salah satu (negara) yang mengisolasi dirinya dengan (tindakan) mendukung terorisme. Itulah mengapa dunia bereaksi terhadap (ulah) Iran, khususnya dunia Islam, yang pada dasarnya ingin mengatakan (pada Iran) 'cukup sudah' (gangguannya)", ujar Menteri Luar Negeri Saudi, Adel al-Jubei, dalam suatu konferensi pers.
Teheran membantah tuduhan telah menjadi sponsor teroris, dan mengklaim telah terlibat aktif membantu Basyar al-Assad (maupun pemerintah Irak yang pro Syi'ah) dalam memerangi teroris ISIS.
Namun negara-negara Teluk telah mem-black list kelompok militan Syi'ah Lebanon, Hezbollah, sebagai teroris.
Hezbollah adalah kepanjangan tangan politik Iran di Lebanon. Dimana kelompok teroris ini terus menguat di negeri itu, sehingga membuat Arab Saudi menghukum pemerintah Beirut karena dianggap tak becus menangkal perkembangan Hezbollah.
Riyadh juga memotong bantuan militer dan keamanan kepada pemerintah Lebanon karena tidak ikut mengutuk serangan terhadap Kedutaan Saudi di Teheran.
Tetapi yang paling mengejutkan ialah di awal masa pemerintahannya, Raja Salman langsung meluncurkan serangan militer terhadap pemberontak Syi'ah Houthi di Yaman, yang didukung Iran.
Semua konfrontasi itu baru upaya Riyadh di dunia Arab dan sekitarnya.
Sekarang, Riyadh juga mencoba untuk menarik dukungan dari tempat lain, termasuk dari negara-negara seperti Pakistan, Malaysia dan berbagai negara lainnya melalui "koalisi Islam kontra-terorisme".
Meskipun tidak secara eksplisit ditujukan untuk melawan Iran, koalisi memang tidak memasukkan Iran dan sekutu-sekutunya, seperti Irak dan Assad di Suriah.
Langkah di Asia, Amerika Latin dan Afrika
Riyadh dikabarkan berusaha meraih dukungan dari India dan mendorong agar lebih merugikan Iran.
Meski belum membuahkan hasil, karena selain kunjungan Perdana Menteri Narendra Modi dan peningkatan penjualan energi Saudi ke India, pemerintah New Delhi sendiri sepakat membangun pelabuhan di Iran.
Sedangkan dalam pertemuan Amerika Latin dengan Liga Arab di Riyadh pada tahun lalu, ada isu yang dilepas untuk mendesak posisi Republik Syi'ah tersebut.
Iran di masa Ahmadinejad memang berhasil membangun hubungan baik dengan negara-negara berhaluan sosialis di Amerika Latin, seperti Venezuela dan Kuba.
Beberapa negara Afrika telah mengikuti langkah negara-negara Sunni Arab dalam memotong hubungan diplomatik dengan Iran. Diantaranya adalah Sudan dan Somalia.
Pekan lalu, Presiden Zambia berkunjung ke Riyadh, segera setelah terjadi pembicaraan untuk menentang Teheran.
Iran telah menggunakan uangnya dalam meraih pengaruhnya di Afrika. Seperti dengan pendekatan investasi maupun pembiayaan misionaris Syi'ah dalam menyebarkan ajarannya di negeri-negeri Muslim potensial.
Teheran juga bermain dalam sikap anti-imperialis, dengan tujuan agar Republik Syi'ah itu mendapat dukungan luas di forum PBB oleh negara-negara tertinggal.
Pada tahun 2012, dua kapal perang Iran berlabuh di Port Sudan, tepat di Laut Merah yang berada di seberang pantai Arab Saudi, menjadi saat-saat hubungan erat antara Sudan dan Iran.
Namun, Riyadh segera menginvestasikan sekitar USD 11 miliar di Sudan dan mengabaikan surat perintah internasional untuk menangkap Presiden Omar al-Bashir, serta memungkinkannya mengunjungi Saudi.
Sudan pun mengikuti Saudi dan memutus hubungan dengan Teheran, tak berapa lama setelah penyerangan kedutaan Saudi di Teheran.
Djibouti dan Somalia melakukan hal yang sama. Sebuah dokumen yang diperoleh Reuters pada bulan Januari menunjukkan bahwa Somalia telah menerima paket bantuan sebesar USD 50 juta tak terlalu lama sebelumnya.
Sedangkan Djibouti membantah kebijakan anti Irannya dimotivasi oleh bantuan finansial. Djibouti menuduh Teheran telah menyebarkan kebencian sektarian di Afrika.
Di sektor ekonomi, Riyadh memukul industri minyak Iran agar tak bisa berkembang pasca dicabutnya sanksi ekonomi.
Pemerintah Saudi membuat jatuh harga minyak mentah dunia dengan menggenjot besar-besaran produksi minyaknya.
Pertengahan April lalu, upaya pembekuan produksi minyak dari negara-negara produsen (terutama dengan Rusia) gagal tercapai setelah Saudi menuntut keterlibatan Iran.
Riyadh dipercaya menggunakan pendekatan-pendekatan ini karena dianggap efektif dalam menekan ekspansi Iran.
Namun menurut pengamat, tidak ada jaminan strategi Riyadh akan terus efektif dalam jangka panjang karena hubungan dengan teman-temannya didasari atas bantuan finansial atau keuntungan lainnya. (Reuters/rslh)
Post a Comment