Tahun ini, kita harus menjalani Ramadhan yang tak biasa. Bukan hajatan Piala Eropa dan Copa America yang membuatnya berbeda. Namun karena ada sekelompok orang memaksa kita untuk mendengarkan nyanyian yang mereka dendangkan. Sebuah lagu lama dengan judul baru.
Lagu sejenis sudah sering kita dengarkan. Biasanya dinyanyikan bersama-sama oleh media arus utama dan kaum Islamphobia saat ada peristiwa yang melibatkan umat Islam atau Islam. Ketika Front Pembela Islam (FPI) melakukan sweeping atau aksi unjuk rasa menentang kemungkaran, lagu tersebut nyaring terdengar. Preman berjubah, Islam identik dengan kekerasan dan syair sejenis terus berkumandang.
Ketika terjadi aksi bom yang pelakunya umat Islam, syair lagu tersebut makin kencang dinyanyikan. Membuat telinga kita bising. Begitu seterusnya. Termasuk Tragedi Ciketing Asem pada Idul Fitri 2010, Poso, Ambon dan lainnya.
Kini, mereka juga mendendangkan syair serupa tepat di bulan Ramadhan. Judulnya: Ibu Saeni dan Razia Warung Makan. Lagunya berisikan syair tentang anarkisme dan intolerasi umat Islam. Ujung-ujungnya, kita dipaksa untuk menghormati orang yang tidak berpuasa. Silakan simak judul berita di Kompas Sengaja saya hanya menampilkan judul dari Kompas karena mereka media yang kali pertama mengangkat razia terhadap warung miliki Ibu Saeni dan terus memberitakannya secara massif.
http://nasional.kompas.com/�/kebijakan.penutupan.warung.mak�
http://properti.kompas.com/�/polemik.razia.warung.nasi.pant�.
http://regional.kompas.com/�/Ibu.Ini.Menangis.saat.Dagangan�
http://ramadhan.kompas.com/�/beda.dengan.serang.ahok.tegask�
Dan biasanya, dalam lagu tersebut terselip syair berupa kecaman dan dukungan dari presiden hingga tokoh JIL. Dalam kasus Ibu Saeni misalnya, ada donasi untuknya yang berjumlah ratusan juta, termasuk dari Presiden Jokowi sebesar Rp 10 juta.
Kekerasan dalam bentuk apapun tak bisa kita toleransi. Aksi razia Satpol PP Pemda Serang, Banten memang berlebihan dan tidak patut. Tersedia cara lain yang lebih manusiawi untuk melakukan penutupan warung yang masih buka di bulan Ramadhan. Namun, di saat yang sama, bukankah Kompas juga melakukan aksi berlebihan dalam memberitakan soal ini?
Banyak logika absurd yang coba dimainkan dalam kasus ini. Jika menyimak beberapa judul Kompas di atas, terlihat jelas apa target yang hendak dicapai: hormatilah orang yang tidak berpuasa dengan cara membolehkan buka warung di siang hari.
Ini logika yang sangat berbahaya. Kita diminta menghormati orang yang tidak berpuasa. Artinya, ada semacam ketakutan dari mereka bahwa orang Islam yang berpuasa memiliki potensi besar untuk melakukan kekerasan dan kekacauan. Tak sadarkah kita dengan itu?
Kebebasan dan toleransi atas nama HAM menjadi senjata mereka. Dua senjata ini merupakan alat yang sangat ampuh untuk mendobrak nilai-nilai kesakralan agama saat arumentasi yang bersifat substantif tak lagi tersedia. Dan itulah lagu yang terus mereka nyanyikan dengan judul yang berbeda-beda.
Erwyn Kurniawan
Penulis
Post a Comment