http://ift.tt/2bc4GPM
Kisah ini mungkin akan membuat kita terenyuh karena mirisnya nasib pejuang bangsa yang kini terabaikan ia adalah seorang tukang becak, Suharto (64), turut sumringah saat mendengar atlet angkat besi peraih medali pertama untuk Indonesia di Olimpiade 2016, Sri Wahyuni Agustina, mendapat janji bonus Rp 2 miliar.
Kesumringahan Suharto itu tentu saja beralasan. Bapak tiga anak asal Surabaya, Jawa Timur ini dulu merupakan atlet sepeda. Ia menyumbang medali emas untuk Indonesia di Sea Games tahun 1979 di Kuala Lumpur dan mendapat medali perunggu pada ajang open turnamen di China, tahun 1978.
"Saya ikut bangga," kata Suharto, saat ditemui di rumahnya di kawasan Jl Kebon Dalem VII, Surabaya, pekan lalu.
Suharto berandai-andai bila bonus Rp 2 miliar itu didapatkannya pada beberapa tahun silam pasti akan bisa membantu untuk biaya pengobatan dirinya.
Suharto menceritakan, sejak dua tahun belakangan, hernia di perutnya memang kian parah. Kalau pada 2011 silam penyakit itu hanya menyerang perut sebelah kanan, kini perut sisi kirinya juga ikut terserang. Operasi yang pernah dia jalani, rupanya tidak banyak membantu menyembuhkannya.
Untuk menyiasati agar aktivitasnya tidak terlalu terganggu oleh penyakit itu, sehari-hari Suharto mengikat perutnya dengan karet ban yang diikat dengan dua balok kayu.
Dua balok kayu itulah yang menjadi alat untuk menyangga hernia di perutnya. "Mau berobat ke dokter juga tidak ada uang. Penghasilan dari menarik becak sehari-hari ya cuma cukup buat makan," katanya.
Suharto mengisahkan perjalanannya di dunia balap sepeda memang yang dirasanya tidak ringan. Untuk mewujudkan mimpi sebagai atlet profesional, Suharto saat itu terpaksa meminta bantuan dari kedua orangtuanya.
Seperangkat perhiasan serta dua unit sepeda motor terpaksa mereka jual agar Suharto memiliki sepeda yang andal. Sebuah sepeda balap mahal buatan Italia yang kala itu dijual di kawasan Jalan Tunjungan, Surabaya.
Tetapi pengorbanan kedua orangtuanya tak sia-sia. Pada 1974, sepeda impian itu berhasil menjadikannya sebagai juara pada ajang Walikota Surabaya Cup. Suharto yang selama masa remajanya tidak pernah mendapat pelatihan khusus dari pelatih sepeda, sanggup menyingkirkan atlet-atlet berpengalaman.
"Bangganya bukan main. Apalagi lawan-lawan yang dikalahkan adalah atlet-atlet TC," kata pria yang pernah menolak tawaran menjadi pelatih di Malaysia tersebut.
Sejak kemenangan di Walikota Surabaya Cup itulah Suharto dilirik oleh KONI. Dia pun diajak bergabung dalam Puslatda untuk mewakili Jawa Timur dalam berbagai event. Berikutnya, dia pun dipercaya mewakili Indonesia dalam berbagai event.
Meski banjir prestasi, namun yang diperoleh Suharto hanyalah kebanggaan semata. Tidak ada bonus dan jaminan hidup layak dari pemerintah di kala itu,menjadikan Suharto putus asa.
Usai Sea Games 1979, dia pun memutuskan untuk "mengandangkan" sepedanya. Dia kini tidak lagi berkiprah di arena balap. Untuk menyambung hidup, Suharto pernah mencoba berbagai pekerjaan. Namun pada akhirnya tidak bisa jauh dari pedal. Namun kali ini bukan lagi pedal sepeda, melainkan pedal becak.
Dari pekerjaan itu, dalam sehari dia mendapatkan uang rata-rata sebesar Rp 50.000. Kalau rezeki sedang melimpah, di akhir hari dia bisa membawa pulang uang Rp 100.000.
"Cukup tidak cukup, ya harus dicukup-cukupkan," sebut bapak tiga anak itu.(tim)
Halaman Berikutnya: 1 2 3
Post a Comment